Kamis, 21 Januari 2010

Epilepsi

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi dikenal sebagai salah satu penyakit tertua di dunia (2000 tahun SM) dan mnempati urutan kedua dari penyakit saraf setelah gangguan perdaran darah otak. Dengan tatalaksana yang baik sebagian besar penderita dapat terbebaskan dari pnyakitnya, namun untuk ini ditemukan banyak kendala, di Indonesia diantaranya kurangnya dokter spesialis saraf, kurangnya ketrampilan dokter umum dan paramedis dalam menanggulangi penyakit ini. Salah satu pnyebab dari kendala tadi adalah kurikulum yang minimal untuk penyakit ini (Tjahjadi, 2007).

Hingga 1 % dari populasi umum mnderita epilepsi aktif, dngan 20-50 pasien baru yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. Kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan diantara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma (Ginsberg, 2008).

B. Definisi Masalah



Keluhan utama : kejang dan tidak sadar 3 menit.

Keluhan penyerta : tidak disertai demam.

Riwayat penyakit : sebelum 1 tahun, kejang saat badan panas; saat SD sering pingsang ketika upacara dan olahraga; kejang sekarang terjadi saat main game di komputer; belum pernah periksa dokter dan minum obat kejang.

C. Tujuan Penulisan



Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan saraf dalam mencapai kompetensi pendidikan dokter umum blok neurologi.

D. Manfaat Penulisan



1. Mahasiswa dapat memahami anatomi dan fisiologi sistem saraf dan penghantaran sinaps.

2. Mahasiswa dapat mencari dan mengerti patologi pada penyakit neurologi khususnya epilepsi.

3. Mahasiswa dapat mengetahui kalsifikasi, kausa, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis, dan rehabilitasi penyakit epilepsi.

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi Neuromuskular dan Kesadaran



Sinaps terdiri dari presinaps dan postsinaps. Ketika terjadi perambatan potensial aksi ke terminal, kanal Ca pada presinaps akan membuka. Proses ini akan diikuti dengan menempelnya neurotransmitter pada membran neuron, lalu neurotransmitter tersebut dilepaskan ke celah sinaps. Neurotransmitter ada dua macam, yaitu neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Bila neurotransmitter eksitasi yang keluar, akan ditangkap oleh reseptor yang cocok pada postsinaps. Ikatan reseptor dengan neurotransmitter akan mengubah permeabilitas membrane otot sehingga ion Na akan masuk. Terjadilah potensial aksi, yang akan menyebabkan terjadinya depolarisasi. Kejadian selanjutnya adalah akan terbentuk ikatan aksin myosin sehingga otot akan berkontraksi. Sedangkan bila neurotransmitter inhibisi yang keluar, setelah berikatan dengan reseptor, perubahan permeabilitas akan memudahkan ion Cl masuk. Ion Cl mengakibatkan muatan sel menjadi negative, maka terjadilah hiperpolarisasi dan inhibisi (Guyton dan Hall, 1997).

Kesadaran diatur oleh serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan oleh formasio activator retikularis (ARAS) yang menghubungkan thalamus dengan korteks serebri. ARAS dibagi menjadi dua unit, yaitu unit ascenden spesifik dan aspesifik. Unit ascenden spesifik akan menghantarkan impuls dari reseptor ke korteks sensorik primer. Sedangkan unit ascenden aspesifik, menghantarkan impuls dari semua titik reseptor ke korteks serebri (Price dan Wilson, 2006)

Definisi Epilepsi



Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi, namum dengan gejala yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono dan Sidharta, 2008). Serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk menegakan diagnosis epilepsi (Harsono, 2007).

Etiologi



Epilepsi ditinjau dari penyebabnya dibagi menjadi dua golongan :

1.
Epilepsi primer atau idiopatik.

Tidak dapat ditemukan klainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
2.
Epilepsi sekunder atau simptomatik

Gejala yang timbul ialah sekunder atau akibat adanya kelainan pada jaringan otak. Biasanya dngan pemriksaan tertentu dapat dilihat adanya kelainan struktural pada otak (Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, 1996).

Patofisiologi



Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah focus kejang akibat suatu keadaan patologik. Apabila terdapat lesi pada neuron di otak, ada beberapa fenomena yang terjadi :

1. Instabilitas membrane sel. Membrane sel yang tidak stabil, ketika terjadi sedikit saja rangsangan akan mengubah permeabilitas. Hal ini mengakibatkan depolarisasi abnormal dan terjadilah lepas muatan yang berlebihan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun, dan apabila terpicu akan melepaskan muatan berlebihan.
3. Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi gama aminobutirat acid (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron (Price dan Wilson, 2006).

Kejang fokal dapat berubah menjadi jenis kejang lain melalui beberapa tingkatan, hal ini menunjukan adanya penyebaran lepasan listrik ke berbagai bagian otak (Tjahjadi, 2007).

Jika kejang bersifat generalisata, lepas muatan listrik yang berlebihan akan menyebar ke bagian otak secara luas. Penyebaran yang mencapai 2/3 bagian otak akan mengakibatkan penurunan kesadaran.

Jenis-Jenis Epilepsi



1. Serangan parsial (fokal, local), kesadaran tidak berubah, brasal dari daerah tertentu dalam otak.

a. Kejang parsial sederhana. Ditandai dengan kesadaran tetap baik dan dapat berupa : (a) motorik fokal yang menjalar atau tanpa menjalar (tipe Jackson), (b) gerakan versify dengan kepala dan leher menengokm ke salah satu sisi (c) dapat pula sebagai gejala sensorik berupa halusinasi dan kadang berupa kelumpuhan extremitas (paralysis todd).

b. Kejang parsial kompleks. Didapat adanya gangguan kesadran dan gejala psikis atau ganggguan fungsi luhur.

2. Serangan umum (generalisata), sejak awal seluiruh otak terlibat secara bersamaan.

a. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal). Dimulai dengan kehilangan kesadaran disusul dengan gejala motorik secara bilateral, dapat berupa ekstensi tonik beberapa menit disusul gerakan klonik yang sinkron dari otot-otot tersebut. Segera sesudah kejang berhnti pasien tertidur.

b. Kejang mioklonik. Ditandai oleh kontraksi otot-otot tubuh secara cepat, sinkron, dan bilateral atau kadang hanya mengenai kelompok otot tertentu

c. Kejang lena (petit mal). Ditandai kehilangan kesadaran yang berlangsung sangat singkat. Beberapa episode dapat disertai dengan mata yang menatap kosong atau gerakan mioklonik dari kelompok otot mata atau wajah, otomatisme, kehilangan tonus otot. Kejang berlangsung beberapa detik sampai setengah menit.

d. Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot (Harsono, 2007; Price dan Wilson, 2006; Mardjono dan Sidharta, 2008).

Faktor Pencetus Epilepsi



*
Kurang tidur dan terlalu lelah. Kurang tidur dapat mengganggu aktivitas dari sel-sel otak sehingga dapat mencetuskan serangan.
*
Stres emosional.
*
Demam dapat mencetuskan perubahan kimiawi dalam otak sehingga mengaktifkan sel-sel otak yang menimbulkan serangan.
*
Obat-obatan.
*
Alkohol.
*
Perubahan hormonal.
*
Fotosensitif (Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, 1996).

Diagnosis



Dalam rangka diagnosis epilepsi dikenal dua hal pokok, yaitu (1) diagnosis etiologic, mencari penyebab timbulnya serangan, (2) diagnosis suprfisial, untuk memastikan jenis serangan yang ada. Bila salah dalam kedua pokok tersebut maka terapi akan gagal (Harsono, 2007).

Elektroensefalografi (EEG) adalah pemeriksaan kelistrikan yang dapat digunakan untuk menentukan jenis epilepsy. Sedangkan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mencari penyebab epilepsy. Selain pemeriksaan tersebut, ada pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan seperti CT scan otak, MRI dan lai-lain (Ginsberg, 2008).

Terapi



Tujuan pengoban adalah membebaskan pasien dari bangkitan tanpa mengganggu fungsi normal saraf pusat dan penderita dapat melakukan tugas tanpa bantuan. Terapi meliputi terapi kausal, terapi dengan menghindari factor pencetus, dan memakai obat anti konvulsi (Hendra Utama, 2007).

Status Epileptikus



Adalah kejang berulang yang terjadi selama 30 menit atau lebih, tanpa pasien mencapai kesadaran kembali diantara serangan. Kejadian ini merupakan kedaruratan medis karena jika tidak ditangani, maka anoksia yang terjadi dapat menyebabkan kerusakan otak permanent atau kematian. Tatalaksana dapat dibagi menjadi tiga komponen : tindakan resusitasi segera, pengendalian kejang, dan identifikasi (dan pengobatan) penyebab yang mendasari (Ginsberg, 2008; Price dan Wilson, 2006).

PEMBAHASAN





Pada kasus di atas, pasien memiliki keluhan utama kejang disertai tidak sadar. Berdasar anamnesis kejang tersebut sudah terjadi dua kali. Selain itu ada riwayat kejang saat masih kecil. Maka dapat disimpulkan bahwa kejang tersebut berulang.

Sebelum umur 1 tahun, penderita sering mengalami kejang saat badannya panas. Kemungkinan penderita mengalami kejang demam, dimana kejang disebabkan oleh peningkatan suhu tubuh. Kenaikan 1 C suhu tubuh akan meningkatkan metabolisme basal 10-15%. Hal ini mengakibatkan kebuituhan oksigen meningkat sekitar 20% dan ATP relative turun. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane sel, diperlukan energi dan enzim NaK ATPase. Ksarena ATP turun, keseimbangan membrane sel neuron terganggu. Terjadilah pemasukan Na yang akan mengakibatkan depolarisasi dan pelepasan muatan berlebihan. Maka timbulah kejang.

Kejang demam biasanya terjadi pada umur 3 bulan- 5 tahun, dan merupakan salah factor risiko terjadinya epilepsy.

Saat menduduki bangku SD, penderita sering pingsan saat mengikuti upacara atau olahraga. Disini tidak dijelaskan apakah hilangnya kesadaran tersebut disertai kejang atau tidak. Jika disertai kejang maka penderita mengalami kejang generalisata. Bila hanya pingsan saja, kemungkinan penderita mengalami sinkop. Sinkop adalah hilangnya kesadaran yang disebabkan oleh penurunan sementara aliran darah ke otak yang diantaranya dapat disebabkan oleh berdiri lama, terutama di lingkungan panas.

Setelah saat ini berumur 16 tahun, pasien sudah mengalami kejang dua kali yang diikuti dengan tidak sadar kira-kira 3 menit. Karena penderita menyangkal adanya riwayat demam sebelumnya, maka demam tidak dapat dimasukan sebagai factor pencetus terjadinya kejang. Biasanya, pada kelompok anak-anak sampai remaja, kejang disebabkan oleh infeksi yang disertai denang demam.

Dikatakan bahwa kejang yang kedua ini, sebelum kejang, penderita sedang bermain game di computer. Maka kemungkinannya adalah pasien menderita fotosensitif. Biasanya orang yang fotosensitif, dia akan sensitive terhadap kerlipan/ kilatan sinar pada kisaran antara 10-15 Hz, seperti diskotik, pada televise, computer yang dapat merupakan pencetus terjadinya serangan kejang.

Diagnosis sementara penyakit penderita adalah epilepsy. Kejang yang dialaminya bukan yang pertama dan merupakan kejang berulang. Kejang terjadi begitu saja/ spontan di saat penderita beraktivitas (main game di computer) dan normal kembali dan dapat bekerja seperti sebelumnya. Jenis kejang yang dialaminya adalah kejang generalisata, karena saat kejang diikuti dengan tidak sadar.

Untuk menegakan diagnosis, diperlukan beberapa pemeriksaan, selain anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan EEG berguna untuk mengkonfirmasi dan mendukung diagnosis klinis dan untuk mengklasifikasikan jenis epilepsy. Untuk mencari kausa dilakuklan pemeriksaan laboratorium (missal glukosa darah, kalsium, dan lain-lain) dan CT scan atau MRI.

Setelah diagnosis pasti epilepsy, jenis epliepsi, serta kausa terjadinya epilepsy ditetapkan, langkah selanjutnya adalah terapi.

Terapi yang dapat diberikan pada penderita antara lain meliputi terapi kausal, preventif, kuratif, rehabilitatif, promotif, dan emergency. Terapi kausal ditujukan untuk menghilangkan penyebab timbulnya kejang. Jika tumor, maka dibedah; jika hipoglikemi, maka dinormalkan gula darahnya; dan sebagainya. Terapi preventif berupa menjauhkan penderita dari factor pencetus kejang. Dalam kasus ini, penderita harus dijauhkan dari kilatan sinar, seperti dari TV, computer, diskotik. Bila diperlukan untuk menonton tv, harus pada jarak yang cukup jauh, pada sudut tertentu dari tv, dan ruangan yang cukup terang. Terapi kuratif, penderita diberi antikonvulsi. Terapi promotif, penderita diberi edukasi tentang penyakitnya dan diberi pengertian agar patuh dalam berobat. Terapi emergency dilakukan jika penderita mengalami status epileptikus.

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai etiologi, namum dengan gejala yang khas, yaitu serangan berkala yang disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan.

2. Kejang dibagi menjadi dua, yaitu kejang fokal, tidak disertai hilangnya kesadaran; dan kejang generalisata, disertai hilangnya kesadaran. Kejang fokal : sederhana, kompleks. Kejang generalisata : kejang tonik-klonik, mioklonik, lena, dan atonik.

3. Faktor pencetus kejang : kurang tidur, stres emosional, obat-obatan, alcohol, perubahan hormonal, fotosensitif. Pada kasus, factor pencetus kejang adalah cahaya (fotosensitif).

4. Untuk menegakan diagnosis, pada penderita di atas diperlukan pemeriksaan penunjang seperti EEG, CT scan / MRI, pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.

B. SARAN

Masalah epilepsy tidak hanya menyangkut aspek-aspek medik akan tetapi juga social. Oleh karena itu perlu diusahakan agar perhatian terhadap masalah epilepsy di kalangan masyarakat awan, termasuk para pendidik, pejabat, dan lain-lain digalakan. Dalam usaha penyebarluasan tersebut para ahli di pusat-pusat pendidikan dokter, dokter umum, dan perhimpunan-perhimpunan yang menangani masalah epilepsy diharapkan dapat bekerja sama dengan instansi-instansi pemerintah dan perhimpunan-perhimpunan social.

DAFTAR PUSTAKA

1. Chusid, J.G. 1990. Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

2. Ginsberg, Lionel. 2008. Lecture Notes Neurologi. Ed: ke-8. Jakarta : Penerbit Erlangga.

3. Guyton dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9. Jakarta : EGC.

4. Harsono (ed). 2007. Strategi Terapi Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Ed: ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

5. Hendra Utama dan Vincent. 2007. Antieplipsi dan Antikonvulsi. In : Farmakologi dan Terapi. Ed: ke-5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

6. Mardjono dan Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke-12. Jakarta: Dian Rakyat.

7. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

8. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC.

9. Tjahjadi, dkk. 2007. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Ed: ke-2. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

1 komentar:

  1. Permisi, saya ingin bertanya. Apakah epilepsi merupakan penyakit menurun? Apakah seorang anak memiliki resiko terkena epilepsi lebih besar jika orangtuanya penderita epilepsi?

    Bagaimana dengan epilepsi parsial, apakah penyebabnya sama? Apakah menurun?

    Terima kasih banyak, jika berkenan mohon dijawab.

    BalasHapus